BAB
I PENDAHULUAN
Pajak Air Permukaan dilakukan
dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah; Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2000; Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah,
khususnya Pasal 33-37; Peraturan Daerah Provinsi Lmpung Nomor 4 Tahun 2002
tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Baawah Tanah dan Air Permukaan;
serta Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2002 tentang Pedoman
Alokasi Biaya Pemungutan Pajak Daerah.
Pajak Rokok dilakukan dengan
mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel
:
1. Stelsel
Pajak
a. Stelsel
Nyata
Pengenaan
Pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), pemungutan dilakukan pada
akhir tahun pajak setelah penghasilan sesungguhnya diketahui. Pajak lebih
realistis tapi baru dapat dikenakan di akhir periode.
b. Stelsel
Anggapan (Fictieve stelsel)
Pengenaan
pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur Undang-Undang. Tanpa menunggu
akhir tahun dan tidak berdasarkan keadaan sesungguhnya.
c. Stelsel Campuran
Merupakan
kombinasi antara stelsel Nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun dihitung
berdasarkan anggapan dan akhir tahun disesuaikan dengan keadaan yang sebebnarnya.
2. Asas
Pemungutan Pajak
a. Asas
Domisili
Negara
berhak untuk mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak diwilayahnya
baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. asas ini berlaku bagi wajib
pajak dalam negeri.
b. Asas
Sumber
Negara berhak
mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa
memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
c. Asas
Kebangsaan
Pengenaan
pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.
3. Sistem
Pemungutan Pajak
a. Official
Assesment system
adalah suatu
sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (FISKUS) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
ciri-cirinya
:
- wewenang untuk menentukan besarya pajak terutang
ada pada fiskus
- wajib pajak bersifat pasif
- utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat
ketetapan pajak oleh fiskus
b. Self
Assessment System
Adalah suatu
sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk
menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
ciri-cirinya
adalah :
- wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang
ada pada wajib pajak sendiri
- wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor
dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
- fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c. With
Holding System
adalah suatu
sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus
dan bukan wajib pajak yang bersangkutan untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh wajib pajak.
ciri-cirinya
wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga pihak
selain fiskus dan wajib pajak.
BAB
II PAJAK AIR PERMUKAAN
- Pengertian
Pajak Air Permukaan
adalah pajak atas pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan. Air Permukaan
adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak termasuk air laut,
baik yang berada di laut maupun di darat. Pajak Air Permukaan semula bernama
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (PPPABTAP)
berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Hanya saja berdasarkan
Undang-Undang Nomor 2009, PPPABTAP dipecah menjadi dua jenis pajak, yaitu Pajak
Air Permukaan dan Pajak Air Bawah Tanah.
Pajak Air Permukaan
dimasukkan sebagai Pajak Provinsi, sedangkan Pajak Air Bawah Tanah ditetapkan
menjadi Pajak Kabupaten/Kota.
Air permukaan
adalah air yang
berada di atas permukaan bumi tidak termasuk air laut kecuali air laut tersebut
telah dimanfaatkan di darat. Air
bawah tanah adalah semua
air yang
terdapat dalam lapiran pengandung air di bawah permukaan tanah termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas
permukaan tanah.
Dasar Hukum:
·
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan
Atas UU No.18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
·
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak
Daerah.
·
Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 11 Tahun 2002
Tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
B. Subjek
Pajak
Orang pribadi atau
badan yang dapat melakukan pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan. Subjek pajak wajib melapor dan memperoleh
izin pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan dari gubernur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
C. Wajib
Pajak
Orang
pribadi atau badan usaha yang mengambil dan atau memanfaatkan air bawah tanah
dan atau air permukaan.
D. Objek
Pajak
1.
Pengambilan
dan pemanfaatan air bawah tanah.
2.
Pengambilan
dan pemanfaatan air permukaan.
E. Bukan
Objek Pajak
1. Pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan untuk
keperluaan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, dengan
tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan.
2. Pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan lainnya
yang ditetapkan dalam peraturan daerah. Misalnya pengambilan air bawah tanah
dana atau air permukaan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta
untuk keperluan pemadaman kebakaran, tambak rakyat, tempat-tempat peribadatan,
riset atau penelitian, dan sebagainya.
Faktor-faktor unsur
penentu nilai rupiah nilai perolehan air :
-Jenis sumber air
- Lokasi sumber air
- Tujuan pengambilan dan atau pemanfaatan air
- volume air yang diambil dan atau dimanfaatkan
- Kualitas air
- Luar areal tempat pengambilan dan atau pemanfaatan air
- Musim pengambilan dan atau pemanfaatan air
- Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan pengambilan dan atau pemanfaatan air.
-Jenis sumber air
- Lokasi sumber air
- Tujuan pengambilan dan atau pemanfaatan air
- volume air yang diambil dan atau dimanfaatkan
- Kualitas air
- Luar areal tempat pengambilan dan atau pemanfaatan air
- Musim pengambilan dan atau pemanfaatan air
- Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan pengambilan dan atau pemanfaatan air.
F.
Perhitungan dan Penetapan
Tarif:
Tarif Pajak Air Bawah Tanah :
1. ABT
/ Air Bawah Tanah = 20%
2. AP / Air Permukaan = 10%
2. AP / Air Permukaan = 10%
Rumus Menghitung
Pajak Air Bawah Tanah / PABT :
Tarif X ( NPA = Kuantitas Air X Faktor Nilai Air X Harga Dasar Air / HDA )
Tarif X ( NPA = Kuantitas Air X Faktor Nilai Air X Harga Dasar Air / HDA )
Masa Pajak Air Bawah
Tanah / PABT :
1 bulan takwim (1 bulan kalender penuh) atau sesuai keputusan gubernur.
1 bulan takwim (1 bulan kalender penuh) atau sesuai keputusan gubernur.
Saat Terutang Pajak
Air Bawah Tanah / PABT :
Saat pengambilan dan atau pemanfaatan ABT-AP
Saat pengambilan dan atau pemanfaatan ABT-AP
Petunjuk Pelaksanaan
/ Juklak Pajak Air Bawah Tanah / PABT :
SK Gubernur No. 10 Tahun 1998
SK Gubernur No. 10 Tahun 1998
Dasar
Pengenaan:
Dasar
pengenaan Pajak adalah nilai perolehan air.
Nilai
Perolehan Air:
Nilai
perolehan air dihitung dengan mengalikan volume air yang diambil/digunakan
dengan harga dasar air.
Besarnya
Pajak:
Besarnya
Pajak yang dibayar (terhutang) dihitung dengan cara mengalikan tarip dengan
dasar pengenaan Pajak
Lokasi
yang telah dijangkau oleh PDAM (perusahaan daerah air minum) harga air bawah
tanah dan air permukaan jatuh lebih mahal dari harga PDAM. Untuk kelebihan
penggunaan yang lebih besar akan nilainya naik menjadi lebih besar.
G.
Tata Cara Pemungutan
Pemungutan
Pajak air permukaan oleh Pemerintah Provinsi Banten dilakukan berdasarkan
Peraturan Daerah Provinsai Banten Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan
dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang telah diganti dengan
Peraturan Daerah Provinsai Banten Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah. Peraturan tersebut mengatur bahwa setiap pengambilan dan
pemanfaatan air permukaan dipungut pajak, kecuali :
1.
Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan
pemanfaatan air permukaan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
2.
Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan
pemanfaatan air permukaan oleh Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik
Daerah yang khusus didirikan untuk menyelenggarakan usaha eksploitasi dan
pemeliharaan pengairan serta mengusahakan air dan sumber-sumber air.
3.
Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan
pemanfaatan air permukaan untuk kepentingan pengairan pertanian rakyat.
4.
Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan
pemanfaatan air permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga;
5.
Pemgambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan
pemanfaatan air permukaan lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.
Dasar pengenaan pajak pengambilan
dan pemanfaatan air permukaan adalah nilai perolehan air. Nilai peroleh air
diperoleh dari perkalian antara volume air per bulan dengan harga dasar air.
Tarif pajak pengambilan dan pemanfaatan air permukaan adalah sebesar 10%
(sepuluh persen) dari nilai perolehan air.
Penentuan harga dasar air dilakukan
berdasarkan Keputusan Gurbernur Banten Nomor 13 tahun 2003 yang telah diubah
dengan tentang Peraturan Gubernur Banten nomor 31 Tahun 2008 dan diubah kembali
menjadi Peraturan Gubernur Banten nomor 4 Tahun 2009 tentang Tata Cara
Perhitungan Harga Dasar Air sebagai Dasar Penetapan Nilai Perolehan Air Bawah
Tanah dan Air Permukaan.
Harga dasar air permukaan dihitung
dengan cara mengalikan komponen sumber daya air, faktor kelompok jenis
pengambilan dan pemanfaatan air serta harga air baku.
Harga Dasar air permukaan =
(komponen sumber daya air) x
(faktor kelompok jenis
pengambilan pemanfaatan air) x
(harga air baku).
Komponen sumber daya air meliputi
unsur-unsur :
1.
Jenis sumber air, yang terdiri dari jenis mata air
(nilai faktor 2); waduk buatan (nilai faktor 1,2); sungai, situ, danau, rawa
(nilai faktor 1); dan air laut yang dimanfaatkan di darat (nilai faktor 0,1).
2.
Kualitas air, yang terdiri dari kualitas kelas satu
(nilai faktor 1), kelas dua (nilai faktor 0,9), kelas tiga (nilai faktor 0,8)
dan kelas empat (nilai faktor 0,7).
3.
Lokasi sumber air, ditetapkan berdasarkan lokasi
pengambilan yang dipengaruhi oleh daerah tangkapan di atasnya, yaitu terdiri
dari lokasi sumber air yang lebih kecil dari 500 km2 (nilai faktor 1) atau
lebih besar atau sama dengan 500 km2 (nilai faktor 0,8)
4.
Kondisi Daerah aliran sungai / daerah tangkapan air,
ditetapkan berdasarkan tingkat kerusakan daerah aliran sungai, yaitu kondisi
baik (nilai faktor 1), kondisi sedang (nilai faktor 1,1) atau kondisi rusak
(nilai faktor 1,2),
Faktor kelompok jenis
pengambilan/pemanfaatan air dibagi menurut kelompok non niaga,
niaga/perdagangan dan jasa, industri, pertanian, perusahaan penjual air non
PDAM, PDAM dan PLTA Nilai faktor masing-masing kelompok jenis tersebut
dibedakan atas kelompok kabupaten/kota di Provinsi Banten, yaitu kelompok
Kab/Kota Tangerang dan Cilegon, Kabupaten Serang, serta Kabupaten Pandeglang
dan Lebak. Adapun harga air baku untuk air permukaan adalah sebesar Rp 75,-/m3.
Mekanisme penentuan besarnya pajak
air permukaan dilakukan berdasarkan laporan volume pengambilan dan pemanfaatan
air oleh wajib pajak kepada UPT DPKAD . Data laporan itu diklarifikasi dengan
data lapangan dari petugas DPKAD atau BPSDA . Data volume air tersebut
selanjutnya digunakan untuk menentukan nilai perolehan air dan besarnya tariff
pajak yang harus dibayarkan.
H.
Kasus
Mau Bayar Pajak Air Kok Repot
Seorang
pengusaha berkeluh kesah pada teman sejawatnya, bahwa perusahaannya yang baru
saja berdiri memerlukan air baku yang diambil di Sungai Cisadane Kota Tangerang
Selatan, air yang akan diambil merupakan salah satu bahan produksi yang
diperlukan untuk proses produksi pabrik di perusahaannya
.
Si pengusaha ini bersedia mematuhi Undang-undang
Nomor 24 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, dan ia telah memahami
tentang kewajibannya bahwa jika mengambil air permukaan di sungai wajib
membayar Pajak Air Permukaan. Namun menurut si pengusaha ketika Ia datang ke
Kantor Pajak ia ditolak untuk membayar pajak.
Kasus diatas sering terjadi di lingkungan
masyarakat awam yang kurang mendapatkan informasi yang jelas mengenai proses
sebuah perusahaan di tetapkan sebagai Wajib Pajak. Dalam kasus diatas
terdapat beberapa tahapan perijinan yang dikelola oleh instansi lain yang harus
dilalui sebelum kewajiban pembayaran Pajak Air Permukaan dilakukan.
Perijinan ini perlu dilalui sebagai untuk menjaga ketersediaan air permukaan di
sungai dan akuntabilitas jumlah pengambilan air. Diantara tahapan perijinan
tersebut adalah :
1. Pada intinya tidak ada bantaran sungai yang
dikuasai oleh perorangan, namun tanah di bantaran Sungai adalah milik
Pemerintah. Jika sungai tersebut melewati dua wilayah kabupaten/kota maka
bantaran tersebut dikuasai oleh Pemerintah Provinsi dalam hal ini Dinas Sumber
Daya Air Dan Pemukiman (DSDAP) Provinsi Banten contohnya adalah Sungai
Cisadane, hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 51 tahun 1960 tentang
larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya, PP nomor 38
Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
2. Terhadap lahan bantaran sungai yang dikuasai oleh
Provinsi Banten setiap pemakaian oleh pihak luar harus mengurus ijin ke DSDAP,
yang apabila disetujui maka akan diberikan ijin yang bernama Ijin Serah Pakai
Tanah.
3. Biasanya jika pabrik akan mengambil air permukaan,
maka pompa dan rumah pompa berada di bantaran sungai bukan di areal pabrik,
maka DSDAP akan menghitung banyaknya tanah yang di serah pakaikan dalam
hitungan meter per segi meliputi rumah pompa dan penghijauan. Ijin serah pakai
dapat diperpanjang setiap 1 (satu) tahun sekali dan terhadap luasan tanah yang
diserah pakaiakan dikenakan retribusi sesuai Peraturan Daerah yang berlaku ±
250 – 1.400 / m2. Pengurusan ijin serah pakai dapat dilaksanakan di
DSDAP Provinsi Banten atau melalui Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BPSDA)
Wilayah Sungai Cidurian-Cisadane DSDAP Provinsi Banten beralamat di JL. KS
Tubun No. 42 Koang Jaya Kota Tangerang.
4. Jika Ijin Serah pakai Tanah telah dibuat (seandainya
mempergunakan tanah bantaran sungai), maka langkah selanjutnya adalah membuat
Ijin Pengembangan Pemanfaatan Air Permukaan (SIPPA) ke DSDAP Provinsi Banten,
hal ini sesuai dengan Undang-undang nomor 7 Tahun 2004 tentang sumber Daya Air.
Di dalam SIPPA ini akan diatur berapa besar debit air yang diperbolehkan untuk
diambil secara terus menerus per bulannya. SIPPA ini harus diperpanjang setiap
2 (dua) tahun sekali.
5. Oleh karena dalam SIPPA telah diatur jumlah debit
yang diperbolehkan diambil, maka setiap pabrik atau perusahaan wajib memasang
alat ukur air/meter air yang spesifikasinya memenuhi petunjuk teknis.
Alat ukur ini wajib di Tera oleh Balai Pengelola Laboratorium Metrologi yang
beralamat di Jalan raya Jakarta KM 4,5 Serang, bukti telah di tera adalah Surat
Keterangan Hasil Peneraan dan Surat ini wajib di uji ulang setiap 1
(satu) Tahun Sekali.
6. Selanjutnya Alat Ukur yang telah di Tera ini
dipasang pada pipa inlet (masuk) dan disegel secara resmi oleh BPSDA WSCC DSDAP
melalui Berita acara penyegelan.
7. Jika semua telah dilalui maka pihak perusahaan
wajib melapor ke Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset daerah (DPKAD) Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Serpong untuk di tetapkan sebagai Wajib Pajak dengan
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD).
8. Setiap bulannya perusahaan akan didatangi petugas
pencatat air dari BPSDA WSCC yang akan melaporkan jumlah air yang telah
diambil. Selanjutnya DPKAD UPT Serpong berdasarkan hasil pencatattan tersebut
akan menetapkan Surat Ketetapan pajak Daerah (SKPD) yang harus dibayarkan
paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah terbit. Berdasarkan SKPD tersebutlah
perusahaan membayar pajak, dan setiap pembayaran mendapatkan bukti pembayaran
yang sah berupa Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) dan Tanda Bukti Pembayaran
(TBP) di Loket DPKAD UPT. Serpong.
Demikianlah urutan-urutan proses yang harus
dilalui, hal ini bukan karena birokrasi yang berbelit namun untuk menjaga
kelangsungai air yang menjadi hajat hidup orang banyak, dengan pengetahuan ini
diharapkan para calon Wajib pajak Air dapat memahami dan melaksanakan
kewajibannya dengan baik.
BAB
III PAJAK ROKOK
A. Pengertian
Pajak
rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah pusat.
Cukai rokok di Indonesia dipungut berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995
tentang Cukai sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.
Cukai
adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang
mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang Cukai.
Tarif
ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu
dari nilai barang – barang yang diimpor misalnya, suatu negara mengenakan tarif
25 % atas nilai atau harga dari setiap unit mobil yang diimpor.
B. Subjek
Pajak
Subjek Pajak rokok adalah konsumen rokok.
C. Wajib
Pajak
1.
Wajib
pajak adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang
Kena Cukai.
2.
Wajib
pajak dapat diwakili oleh pihak tertentu yang diperkenankan oleh undang-undang
dan Peraturan Daerah tentang Pajak Rokok,wakil wajib pajak bertanggung jawab secara pribadi dan atau
secara tanggung renteng atas pembayaran pajak terutang.
3.
Wajib
pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan
hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.
D. Objek
Pajak
Objek pajak rokok adalah konsumsi rokok.
Yang dimaksud dengan rokok meliputi sigaret, cerutu, dan
rokok daun.
1.
Sigaret
adalah hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan
kertas dengan cara dilinting,untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti
atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
2.
Cerutu
adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris
atau tidak, dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau, untuk
dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan
dalam pembuatannya.
3.
Rokok
daun adalah hasil tembakau yang dibuat dengan daun nipah, daun jagung (klobot),
atau sejenisnya, dengan cara dilinting, untuk dipakai tanpa mengindahkan bahan
pengganti.
E. Bukan
Objek Pajak
Bukan Objek Pajak adalah rokok yang tidak
dikenai cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
Pada Pasal 26 ayat 2 ditentukan bahwa cukai juga tidak
dipungut atas barang kena cukai (termasuk hasil tembakau) apabila:
1.
Diangkut
terus atau diangkut lanjut dengan tujuan luar daerah pabean.
2.
Diekspor.
3.
Dimasukan
ke dalam pabrik atau tempat penyimpanan.
4.
Digunakan
sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang
merupakan barang kena cukai.
5.
Telah
musnah atau rusak sebelum dikeluarkan dari pabrik, tempat penyimpanan atau
sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai.
F. Tarif
Pajak
Ini
ditetapkan sebesar 10% dari cukai rokok. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pada
penjelasan Pasal 29 menyatakan bahwa pada saat diberlakukannya ketentuan
mengenai Pajak Rokok, pengenaan Pajak Rokok sebesar sepuluh persen dari cukai
rokok diperhitungkan dalam penetapan tarif cukai nasional.
Sebagai
contoh, dalam tahun 2011 penerimaan cukai nasional sebesar 100, dan
diproyeksikan meningkat 10% setiap
tahunnya sesuai dengan peta jalur industri rokok nasional. Tanpa adanya
pengenaan Pajak Rokok oleh daerah, penerimaan cukai nasional tahun 2012 menjadi
110, kemudian menigkat menjadi 121 di tahun 2013. Pada tahun 2014, saat mulai
diberlakukannya Pajak Rokok, penerimaan cukai nasional diproyeksikan sebesar
133, yang terdiri dari 121 sebagai penerimaan cukai pemerintah pusat dan 12
sebagai Pajak Rokok untuk daerah. Pola ini berlanjut untuk tahun 2015 dan
seterusnya.
G. Tata
Cara Pemungutan
KEPUTUSAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR
KEP - 43/PJ./1995
TENTANG
TARIF DAN TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN,
SERTA PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
ATAS PENJUALAN HASIL PRODUKSI INDUSTRI ROKOK KRETEK DI DALAM NEGERI
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
Menimbang
:
1.
bahwa dalam rangka pelaksanaan
pemungutan pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan rokok kretek oleh industri rokok kretek, dipandang
perlu untuk menetapkan tarif dan tata cara pemungutan, penyetoran serta
pelaporannya.
2.
Bahwa oleh karena itu tarif dan tata
cara pemungutan, penyetoran serta pelaporan tersebut ditetapkan dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Mengingat
:
1.
Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 tahun
1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1994;
2.
Pasal 1 huruf c dan Pasal 2 ayat (1)
huruf c Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 599/KMK.04/1994
tanggal 21 Desember 1994 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal
22, Sifat, dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya;
3.
Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor : 53/KMK.05/1994 tanggal 15 Pebruari 1994 tentang Perubahan
Bunyi Paragrap 59 ayat (1) dari Keputusan Cukai Tembakau.
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan
:
KEPUTUSAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TARIF DAN TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN,
SERTA PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 ATAS PENJUALAN HASIL PRODUKSI
INDUSTRI ROKOK KRETEK DI DALAM NEGERI.
Pasal
1
(1) Badan
usaha yang bergerak di bidang industri rokok kretek ditunjuk sebagai pemungut
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan rokok kretek di dalam negeri.
(2) Kepala
Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan bagi badan usaha
yang bergerak di bidang industri rokok kretek yang telah terdaftar sebagai
Wajib Pajak, sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 tersebut pada ayat
(1), dengan menggunakan formulir Penunjukan Wajib Pajak sebagai Pemungut Pajak
Penghasilan Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.
(3) Ketentuan
tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku lagi bagi badan usaha yang
bergerak di bidang industri rokok kretek yang tergolong perusahaan hasil
tembakau bernomor pengawas K.1000 sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 53/KMK.05/1994.
Pasal
2
Besarnya
Pajak Penghasilan Pasal 22 yang wajib dipungut oleh industri rokok kretek pada
saat penjualan rokok kretek di dalam negeri adalah 0,1% dari harga bandrol, dan
bersifat final.
Pasal
3
(1) Dalam
melaksanakan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pemungut Pajak wajib menerbitkan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 oleh
Badan Usaha Industri Rokok
Final dalam rangkap 3 (tiga) yaitu :
- lembar
pertama : untuk Wajib Pajak pembeli;
- lembar
kedua : untuk disampaikan kepada Kantor
Pelayanan Pajak (dilampirkan pada SPT Masa PPh Pasal 22);
- lembar
ketiga : untuk arsip Pemungut Pajak.
(2) Dalam
hal penjualan rokok kretek dilakukan oleh industri rokok kretek secara kanvas
kepada pembeli perseorangan yang belum mempunyai NPWP, maka NPWP pembeli pada
Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 diisi "0.000.000.0. kode KPP tempat pembeli
berdomisili".
Pasal 4
(1) Pajak
Penghasilan Pasal 22 atas penjualan rokok kretek yang dikembalikan (retur)
setelah Masa Pajak terjadinya penjualan, dapat dikurangkan dari Pajak
Penghasilan Pasal 22 terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian rokok
kretek tersebut, kecuali apabila dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian,
industri rokok kretek menggantinya dengan rokok kretek yang sama baik phisik
maupun jumlah harganya.
(2) Apabila
terjadi pengembalian seperti tersebut pada ayat (1), pembeli wajib membuat Nota
Retur dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian rangkap 3 (tiga) yaitu :
- lembar
pertama dan lembar kedua : untuk Pemungut Pajak
- lembar ketiga : untuk arsip Wajib Pajak
Pembeli.
Nota Retur sekurang-kurangnya harus
mencantumkan :
a. Nomor
dan tanggal Nota Retur
b. Nama,
alamat dan NPWP pembeli
c. Nama,
alamat dan NPWP industri rokok
d. Nomor
dan tanggal Faktur pembelian rokok kretek yang dikembalikan
e. Macam,
jenis, kwantum dan harga rokok kretek yang dikembalikan
f. Tanda
tangan pembeli.
Pasal
5
Pemungut
Pajak wajib menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dipungut
selambat-lambatnya tujuh hari setelah Masa Pajak berakhir, dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak Final ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.
Pasal
6
Pemungut
Pajak wajib menyampaikan laporan mengenai Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah
dipungut dan telah disetor setiap bulan kepada Kantor Pelayanan Pajak di tempat
kedudukan Pemungut Pajak, selambat-lambatnya 14 hari setelah Masa Pajak berakhir,
dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 22 yang dilampiri lembar
kedua Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 Final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1), lembar ketiga Surat Setoran Pajak Final sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, dan apabila ada, lembar kedua Nota Retur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2).
Pasal
7
Keputusan
ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 1995.
H. PAJAK
ROKOK V.S CUKAI ROKOK
Konsep dan keberadaan dari pajak berganda (Double Taxation) telah menjadi
debat yang signifikan sejak masa lalu. Secara sederhana, pengertian dari pajak
berganda adalah suatu prinsip perpajakan yang mengacu pada pajak yang dibayar
dua kali di sumber yang sama.
Menurut Campbell R. Harvey, Pajak Berganda adalah:
Government taxation of the same money twice; specifically, earnings taxed
first at the corporate level and then again as dividends at the stockholder
level
Menurut Campbell R. Harvey, Pajak Berganda adalah:
A taxation principle referring to income taxes that are paid twice on the
same source of earned income.[1]
Menurut David L. Scott, pengertian Pajak Berganda
adalah:
Taxation of the same income twice by the same taxing authority. It is generally
used to refer to the taxation of dividends that are taxed once at the corporate
level (as income before dividends are declared) and again at the personal level
(when the dividends are received).[2]
Menurut Denise L. Evans, JD & O. William Evans, JD, pengertian Pajak
Berganda adalah:
A situation said to exist when a corporation must pay taxes on income, make
dividend payments to shareholders on after-tax dollars, and then the
shareholders must again pay taxes on the dividends. This is the situation with
normal corporations, called C-corporations, that do not qualify for
S-corporation (small corporation) status. S-corporations file reports
allocating pro rata shares of all income to the individual shareholders, who
then pay taxes on that number. The corporation itself does not pay any taxes.[3]
Sedangkan, menurut Penulis pengertian Pajak Berganda adalah:
Pembebanan jenis pajak yang sama dari sumber yang sama pada dua level
berbeda (pajak atas pajak), ataupun dapat terjadi ketika suatu wajib pajak
dikaenakan dua jenis pajak yang berbeda pada objek yang sama.
Pajak berganda pada situasi pertama dapat terjadi jika terjadi pemungutan
pajak pada beberapa level, seperti Pajak Penghasilan pada kasus pembagian
dividen di tingkat perusahaan (corporate) dan pemegang saham (shareholder
dividend). Sedangkan situasi kedua terjadi ketika yurisdiksi pajak
tumpang-tindih dan suatu transaksi, asset, atau jumlah pendapatan tunduk kepada
perpajakan di pada kedua yurisdiksi tersebut.
Pajak Rokok memiliki Dasar Pengenaan Pajak yang berbeda dengan cukai rokok,
dimana Dasar Pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah
terhadap rokok.[4]
Sedangkan Dasar pengenaan Cukai Rokok adalah Harga Dasar yang digunakan untuk
perhitungan cukai atas Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia adalah Harga
Jual Pabrik atau Harga Jual Eceran.[5]
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajaknya. Sedangkan pada Cukai Rokok
pemerintah menerapkan besarnya cukai rokok terutang dengan sistem kombinasi,
yaitu menggunakan tarif spesifik dan tarif advalorum. Tarif advalorum artinya cukai dihitung sekian persen
dari harga per bungkus rokok. Harga per bungkus tersebut sesuai yang tercantum
pada bungkus rokok. Sedangkan tarif spesifik artinya cukai dihitung sekian
persen dari harga rokok per batang. Apabila menggunakan sistem kombinasi, maka
hasil perhitungan tarif advalorum dan tarif spesifikasi digabungkan.
Contoh 1
Misalkan rokok merek “X” dengan harga jual Eceran
(HJE) per batang Rp 600 termasuk cukai menggunakan tarif spesifik 40%
perbatang. Hitunglah Besaran Cukai Rokok dan Pajak Rokok per batang rokok?
Jawab:
HJE per batang rokok = Rp. 600
Cukai yang dibayar pengusaha per batang: 40% x Rp
600 =Rp. (240)
Pajak Rokok yang dibayar pengusaha per batang:10% x
Rp. 240 = Rp. (24)
Pajak Pertambahan Nilai untuk Rokok 8,4% x Rp. 600 =Rp.
(50,4)
Laba setelah pajak Rp. 285,6
Asumsikan
keuntungan yang di-share kepada distributor: 5% x Rp.600 = Rp. (30)
Laba diterima Pengusaha Rokok Rp. 255,6
I.
Earmarking Pajak Rokok
Secara konsepsional alokasi penerimaan Negara dari
Cukai Rokok selama ini menyimpang dari tujuannya. Cukai rokok Indonesia
mengalir ke kas APBN untuk dana pembangunan, bukan untuk mengendalikan barang
yang dikenai cukai, yaitu rokok. Hal ini menyimpang dari formula universal
bahwa cukai adalah “pajak dosa” (sin tax), yaitu pajak atas konsumsi
barang yang bersifat negatif.
Dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 lahir kebijakan untuk
alokasi khusus untuk mengendalikan bahaya rokok (earmarking tax),
seperti dalam pasal 31 disebutkan bahwa penerimaan Pajak Rokok, baik bagian
provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima
puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum
oleh aparat yang berwenang. Melalui kebijakan ”earmarking” ini
daerah dipacu untuk secara bertahap dan terus menerus melakukan perbaikan (sustainable
development) kualitas pelayanan publik di daerahnya.
Penerimaan Pajak Rokok dialokasikan untuk
mendanai bidang pelayanan kesehatan (pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan
prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi
perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok,
dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok).
Penerimaan Pajak Rokok juga dialokasikan untuk mendanai bidang penegakan hukum terkait rokok illegal, yaitu
rokok yang dalam tahap produksinya tidak terdaftar sehingga tidak membayar
Cukai rokok. Dalam pelaksanaannya, pajak rokok akan ditandai dengan adanya
semacam stiker atau pita cukai tambahan yang dilekatkan pada masing-masing
bungkus rokok. Distributor wajib menyampaikan laporan yang berisi jumlah rokok
yang akan dijual kepada pemerintah provinsi.
Rokok yang beredar di satu provinsi akan berbeda
dengan provinsi lainnya, lantaran memiliki stiker atau pita cukai tambahan yang
berlainan. Pengawasan peredaran rokok akan langsung dilakukan oleh pemerintah
daerah, baik provinsi, kabupaten, maupun kota. Tugas ini bisa diserahkan kepada
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang dibantu Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai.
Contoh kasus Penghitungan Earmarking atas Pajak Rokok:
Pada tahun 2014 Departemen Keuangan menargetkan
penerimaan cukai tembakau dan rokok dari Provinsi Jawa Timur mencapai sebesar
Rp 32 triliun. Hitunglah besar penerimaan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kota/Kabupaten Jawa Timur dari pajak rokok pada tahun 2014?
Jawab:
Besar cukai rokok = Rp. 32.000.000.000.000
Maka,Besar Pajak rokok:
DPP: 10% x Rp. 32.000.000.000.000 = Rp.
3.200.000.000.000
àPenerimaan dari Pajak Rokok
- Pemerintah Provinsi:
30% x Rp.
3.200.000.000.000 = Rp. 960.000.000.000
- Pemerintah Kabupaten/Kota:
70% x Rp.
3.200.000.000.000 = Rp. 2.240.000.000.000
àAlokasi (earmark) penerimaan pajak:
- Pemerintah Provinsi:
50% x Rp.
960.000.000.000 = Rp. 480.000.000.000
- Pemerintah Kabupaten/Kota:
50% x Rp.
2.240.000.000.000 = Rp. 1.120.000.000.000
J. Kasus
Contoh 1
Misalkan rokok merek “X” dengan harga jual Eceran
(HJE) per batang Rp 600 termasuk cukai menggunakan tarif spesifik 40%
perbatang. Hitunglah Besaran Cukai Rokok dan Pajak Rokok per batang rokok?
Jawab:
HJE per batang rokok = Rp. 600
Cukai yang dibayar pengusaha per batang: 40% x Rp
600 =Rp. (240)
Pajak Rokok yang dibayar pengusaha per batang:10% x
Rp. 240 = Rp. (24)
Pajak Pertambahan Nilai untuk Rokok 8,4% x Rp. 600 =Rp.
(50,4)
Laba setelah pajak Rp. 285,6
Asumsikan keuntungan
yang di-share kepada distributor: 5% x Rp.600 = Rp. (30)
Laba diterima Pengusaha Rokok Rp. 255,6
Contoh 2
Dengan menggunakan tarif advolrum, harga satu
bungkus rokok rokok merek “Y” sebesar Rp. 10.000 dengan cukai 40%. Itu artinya
nilai cukai adalah sebesar 40% x Rp 10.000 = Rp. 4.000. Kemudian pemda
menambah Pajak Rokok dengan tarif 10% atas cukai. Sehingga besar pajak rokok
adalah 10% x Rp 4000 = Rp. 400. Jadi, harga eceran pokok total naik
menjadi Rp. 10.400.
Contoh 2
Dengan menggunakan tarif advolrum, harga satu
bungkus rokok rokok merek “Y” sebesar Rp. 10.000 dengan cukai 40%. Itu artinya
nilai cukai adalah sebesar 40% x Rp 10.000 = Rp. 4.000. Kemudian pemda
menambah Pajak Rokok dengan tarif 10% atas cukai. Sehingga besar pajak rokok
adalah 10% x Rp 4000 = Rp. 400. Jadi, harga eceran pokok total naik
menjadi Rp. 10.400.
BABIV
KESIMPULAN
Tujuan penerapan pajak air permukaan tak hanya
semata-mata untuk menambah kas atau pendapatan daerah, namun juga untuk
melindungi Sumber Daya Alam (SDA), dalam hal ini adalah air permukaan. Tarif
yang dikenakan untuk Pajak Air Permukaan adalah 10% dari nilai perolehan air.
Nilai perolehan air dihitung dengan cara mengalikan Volume air yang
diambil/digunakan dengan harga dasar air.
Tujuan utama penerapan
pajak rokok adalah untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya rokok. Penerapan
pajak rokok sebesar 10 persen dari nilai cukai juga dimaksudkan untuk
memberikan optimalisasi pelayanan pemerintah daerah dalam menjaga kesehatan
masyarakat.
Pajak Rokok tidak bisa
dikatakan pajak berganda atau double taxation. Dilihat dari dasar
penghitungannya, Pajak Rokok berbeda dengan Cukai Rokok. Dasar pemungutan Pajak
Rokok dikenakan atas besaran cukai, sedangkan dasar pemungutan cukai adalah
terhadap produk rokok. Pajak berganda baru akan terjadi jika Pajak Rokok
dikenakan terhadap produk rokok. Sedangkan jika dilihat dari alokasi
penerimaan, terdapat perbedaan antara Pajak Rokok dan Cukai Rokok, Pajak Rokok
dipungut oleh Pemerintah daerah dan sepenuhnya masuk ke kas Pemerintah daerah.
Sementara cukai rokok yang diterapkan selama ini,adalah pajak yang
peruntukannya untuk Pemerintah Pusat.
Melalui kebijakan ”earmarking” yang
ada di dalam Pajak Rokok setiap daerah akan dipacu untuk secara bertahap dan
terus menerus melakukan perbaikan dan peningkatan (sustainable development)
kualitas pelayanan publik di daerahnya secara nyata. Terutama di bidang pelayanan kesehatan dan penegakan
hukum terkait rokok illegal.
DAFTAR
PUSTAKA
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah karangan Marihot Pahala Siahaan, S.E., M.T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar