Sabtu, 23 Juni 2012

Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok


BAB I PENDAHULUAN

Pajak Air Permukaan dilakukan dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000; Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, khususnya Pasal 33-37; Peraturan Daerah Provinsi Lmpung Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Baawah Tanah dan Air Permukaan; serta Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2002 tentang Pedoman Alokasi Biaya Pemungutan Pajak Daerah.
Pajak Rokok dilakukan dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel :
1. Stelsel Pajak
a. Stelsel Nyata
Pengenaan Pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), pemungutan dilakukan pada akhir tahun pajak setelah penghasilan sesungguhnya diketahui. Pajak lebih realistis tapi baru dapat dikenakan di akhir periode.


b. Stelsel Anggapan (Fictieve stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur Undang-Undang. Tanpa menunggu akhir tahun dan tidak berdasarkan keadaan sesungguhnya.


c. Stelsel Campuran
Merupakan kombinasi antara stelsel Nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun dihitung berdasarkan anggapan dan akhir tahun disesuaikan dengan keadaan yang sebebnarnya.

2. Asas Pemungutan Pajak

a. Asas Domisili
Negara berhak untuk mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak diwilayahnya baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. asas ini berlaku bagi wajib pajak dalam negeri.

b. Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
c. Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.



3. Sistem Pemungutan Pajak

a. Official Assesment system
adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (FISKUS) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
ciri-cirinya :
  1. wewenang untuk menentukan besarya pajak terutang ada pada fiskus
  2. wajib pajak bersifat pasif
  3. utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus
b. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
ciri-cirinya adalah :
  1. wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri
  2. wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
  3. fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c. With Holding System
adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
ciri-cirinya wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga pihak selain fiskus dan wajib pajak.










BAB II PAJAK  AIR PERMUKAAN
  1. Pengertian
Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak termasuk air laut, baik yang berada di laut maupun di darat. Pajak Air Permukaan semula bernama Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (PPPABTAP) berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Hanya saja berdasarkan Undang-Undang Nomor 2009, PPPABTAP dipecah menjadi dua jenis pajak, yaitu Pajak Air Permukaan dan Pajak Air Bawah Tanah.
Pajak Air Permukaan dimasukkan sebagai Pajak Provinsi, sedangkan Pajak Air Bawah Tanah ditetapkan menjadi Pajak Kabupaten/Kota. 
Air permukaan adalah air yang berada di atas permukaan bumi tidak termasuk air laut kecuali air laut tersebut telah dimanfaatkan di darat. Air bawah tanah adalah semua air yang terdapat dalam lapiran pengandung air di bawah permukaan tanah termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah.
Dasar Hukum:
·         Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas UU No.18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
·         Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah.
·         Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
B.     Subjek Pajak
Orang pribadi atau badan yang dapat melakukan pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan.  Subjek pajak wajib melapor dan memperoleh izin pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan dari gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


C.    Wajib Pajak
Orang pribadi atau badan usaha yang mengambil dan atau memanfaatkan air bawah tanah dan atau air permukaan.

D.    Objek Pajak
1.      Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah.
2.      Pengambilan dan pemanfaatan air permukaan.

E.     Bukan Objek Pajak
1.    Pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan untuk keperluaan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan.
2.    Pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan lainnya yang ditetapkan dalam peraturan daerah. Misalnya pengambilan air bawah tanah dana atau air permukaan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta untuk keperluan pemadaman kebakaran, tambak rakyat, tempat-tempat peribadatan, riset atau penelitian, dan sebagainya.
Faktor-faktor unsur penentu nilai rupiah nilai perolehan air :
-Jenis sumber air
- Lokasi sumber air
- Tujuan pengambilan dan atau pemanfaatan air
- volume air yang diambil dan atau dimanfaatkan
- Kualitas air
- Luar areal tempat pengambilan dan atau pemanfaatan air
- Musim pengambilan dan atau pemanfaatan air
- Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan pengambilan dan atau pemanfaatan air.
F.     Perhitungan dan Penetapan
Tarif:
Tarif Pajak Air Bawah Tanah  :
1.   ABT / Air Bawah Tanah = 20%
2.   AP / Air Permukaan = 10%
Rumus Menghitung Pajak Air Bawah Tanah / PABT :
Tarif X ( NPA = Kuantitas Air X Faktor Nilai Air X Harga Dasar Air / HDA )
Masa Pajak Air Bawah Tanah / PABT :
1 bulan takwim (1 bulan kalender penuh) atau sesuai keputusan gubernur.
Saat Terutang Pajak Air Bawah Tanah / PABT :
Saat pengambilan dan atau pemanfaatan ABT-AP
Petunjuk Pelaksanaan / Juklak Pajak Air Bawah Tanah / PABT :
SK Gubernur No. 10 Tahun 1998
Dasar Pengenaan:
Dasar pengenaan Pajak adalah nilai perolehan air.

Nilai Perolehan Air:
Nilai perolehan air dihitung dengan mengalikan volume air yang diambil/digunakan dengan harga dasar air.

Besarnya Pajak:
Besarnya Pajak yang dibayar (terhutang) dihitung dengan cara mengalikan tarip dengan dasar pengenaan Pajak
Lokasi yang telah dijangkau oleh PDAM (perusahaan daerah air minum) harga air bawah tanah dan air permukaan jatuh lebih mahal dari harga PDAM. Untuk kelebihan penggunaan yang lebih besar akan nilainya naik menjadi lebih besar.
G.    Tata Cara Pemungutan
Pemungutan Pajak air permukaan oleh Pemerintah Provinsi Banten dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsai Banten Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang telah diganti dengan Peraturan Daerah Provinsai Banten Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Peraturan tersebut mengatur bahwa setiap pengambilan dan pemanfaatan air permukaan dipungut pajak, kecuali :
1.      Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air permukaan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
2.      Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air permukaan oleh Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang khusus didirikan untuk menyelenggarakan usaha eksploitasi dan pemeliharaan pengairan serta mengusahakan air dan sumber-sumber air.
3.      Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air permukaan untuk kepentingan pengairan pertanian rakyat.
4.      Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga;
5.      Pemgambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air permukaan lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.
Dasar pengenaan pajak pengambilan dan pemanfaatan air permukaan adalah nilai perolehan air. Nilai peroleh air diperoleh dari perkalian antara volume air per bulan dengan harga dasar air. Tarif pajak pengambilan dan pemanfaatan air permukaan adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai perolehan air.
Penentuan harga dasar air dilakukan berdasarkan Keputusan Gurbernur Banten Nomor 13 tahun 2003 yang telah diubah dengan tentang Peraturan Gubernur Banten nomor 31 Tahun 2008 dan diubah kembali menjadi  Peraturan Gubernur Banten nomor 4 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perhitungan Harga Dasar Air sebagai Dasar Penetapan Nilai Perolehan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
Harga dasar air permukaan dihitung dengan cara mengalikan komponen sumber daya air, faktor kelompok jenis pengambilan dan pemanfaatan air serta harga air baku.
Harga Dasar air permukaan = (komponen sumber daya air) x
(faktor kelompok  jenis pengambilan   pemanfaatan air) x
(harga air baku).


Komponen sumber daya air meliputi unsur-unsur :
1.      Jenis sumber air, yang terdiri dari jenis mata air (nilai faktor 2); waduk buatan (nilai faktor 1,2); sungai, situ, danau, rawa (nilai faktor 1); dan air laut yang dimanfaatkan di darat (nilai faktor 0,1).
2.      Kualitas air, yang terdiri dari kualitas kelas satu (nilai faktor 1), kelas dua (nilai faktor 0,9), kelas tiga (nilai faktor 0,8) dan kelas empat (nilai faktor 0,7).
3.      Lokasi sumber air, ditetapkan berdasarkan lokasi pengambilan yang dipengaruhi oleh daerah tangkapan di atasnya, yaitu terdiri dari lokasi sumber air yang lebih kecil dari 500 km2 (nilai faktor 1) atau lebih besar atau sama dengan 500 km2 (nilai faktor 0,8)
4.      Kondisi Daerah aliran sungai / daerah tangkapan air, ditetapkan berdasarkan tingkat kerusakan daerah aliran sungai, yaitu kondisi baik (nilai faktor 1), kondisi sedang (nilai faktor 1,1) atau kondisi rusak (nilai faktor 1,2),
Faktor kelompok jenis pengambilan/pemanfaatan air dibagi menurut kelompok non niaga, niaga/perdagangan dan jasa, industri, pertanian, perusahaan penjual air non PDAM, PDAM dan PLTA Nilai faktor masing-masing kelompok jenis tersebut dibedakan atas kelompok kabupaten/kota di Provinsi Banten, yaitu kelompok Kab/Kota Tangerang dan Cilegon, Kabupaten Serang, serta Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Adapun harga air baku untuk air permukaan adalah sebesar Rp 75,-/m3.
Mekanisme penentuan besarnya pajak air permukaan dilakukan berdasarkan laporan volume pengambilan dan pemanfaatan air oleh wajib pajak kepada UPT DPKAD . Data laporan itu diklarifikasi dengan data lapangan dari petugas DPKAD atau BPSDA . Data volume air tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan nilai perolehan air dan besarnya tariff pajak yang harus dibayarkan.
H.    Kasus
Mau Bayar Pajak Air Kok Repot
Posted 29 Juli 2011 by pajakserpong405 in Uncategorized.
Seorang pengusaha berkeluh kesah pada teman sejawatnya, bahwa perusahaannya yang baru saja berdiri memerlukan air baku yang diambil di Sungai Cisadane Kota Tangerang Selatan, air yang akan diambil merupakan salah satu bahan produksi yang diperlukan untuk proses produksi pabrik di perusahaannya .

Si pengusaha ini bersedia mematuhi Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, dan ia telah memahami tentang kewajibannya bahwa jika mengambil air permukaan di sungai wajib membayar Pajak Air Permukaan. Namun menurut si pengusaha ketika Ia datang ke Kantor Pajak ia ditolak untuk membayar pajak.
Kasus diatas sering terjadi di lingkungan masyarakat awam yang kurang mendapatkan informasi yang jelas mengenai proses sebuah perusahaan di tetapkan sebagai Wajib Pajak.  Dalam kasus diatas terdapat beberapa tahapan perijinan yang dikelola oleh instansi lain yang harus dilalui sebelum kewajiban pembayaran Pajak Air Permukaan dilakukan.  Perijinan ini perlu dilalui sebagai untuk menjaga ketersediaan air permukaan di sungai dan akuntabilitas jumlah pengambilan air. Diantara tahapan perijinan tersebut adalah :
1.      Pada intinya tidak ada bantaran sungai yang dikuasai oleh perorangan, namun tanah di bantaran Sungai adalah milik Pemerintah. Jika sungai tersebut melewati dua wilayah kabupaten/kota maka bantaran tersebut dikuasai oleh Pemerintah Provinsi dalam hal ini Dinas Sumber Daya Air Dan Pemukiman (DSDAP) Provinsi Banten contohnya adalah Sungai Cisadane, hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 51 tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya, PP nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
2.      Terhadap lahan bantaran sungai yang dikuasai oleh Provinsi Banten setiap pemakaian oleh pihak luar harus mengurus ijin ke DSDAP, yang apabila disetujui maka akan diberikan ijin yang bernama Ijin Serah Pakai Tanah.
3.      Biasanya jika pabrik akan mengambil air permukaan, maka pompa dan rumah pompa berada di bantaran sungai bukan di areal pabrik, maka DSDAP akan menghitung banyaknya tanah yang di serah pakaikan dalam hitungan meter per segi meliputi rumah pompa dan penghijauan. Ijin serah pakai dapat diperpanjang setiap 1 (satu) tahun sekali dan terhadap luasan tanah yang diserah pakaiakan dikenakan retribusi sesuai Peraturan Daerah yang berlaku ± 250 – 1.400 / m2. Pengurusan ijin serah pakai dapat dilaksanakan di DSDAP Provinsi Banten atau melalui Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BPSDA) Wilayah Sungai Cidurian-Cisadane DSDAP Provinsi Banten beralamat di JL. KS Tubun No. 42 Koang Jaya Kota Tangerang.
4.      Jika Ijin Serah pakai Tanah telah dibuat (seandainya mempergunakan tanah bantaran sungai), maka langkah selanjutnya adalah membuat Ijin Pengembangan Pemanfaatan Air Permukaan (SIPPA) ke DSDAP Provinsi Banten, hal ini sesuai dengan Undang-undang nomor 7 Tahun 2004 tentang sumber Daya Air. Di dalam SIPPA ini akan diatur berapa besar debit air yang diperbolehkan untuk diambil secara terus menerus per bulannya. SIPPA ini harus diperpanjang setiap 2 (dua) tahun sekali.
5.      Oleh karena dalam SIPPA telah diatur jumlah debit yang diperbolehkan diambil, maka setiap pabrik atau perusahaan wajib memasang alat ukur air/meter air yang spesifikasinya memenuhi petunjuk teknis.  Alat ukur ini wajib di Tera oleh Balai Pengelola Laboratorium Metrologi yang beralamat di Jalan raya Jakarta KM 4,5 Serang, bukti telah di tera adalah Surat Keterangan Hasil Peneraan dan Surat  ini wajib di uji ulang setiap 1 (satu) Tahun Sekali.
6.      Selanjutnya Alat Ukur yang telah di Tera ini dipasang pada pipa inlet (masuk) dan disegel secara resmi oleh BPSDA WSCC DSDAP melalui Berita acara penyegelan.
7.      Jika semua telah dilalui maka pihak perusahaan wajib melapor ke Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset daerah (DPKAD) Unit Pelaksana Teknis (UPT) Serpong untuk di tetapkan sebagai Wajib Pajak dengan memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD).
8.      Setiap bulannya perusahaan akan didatangi petugas pencatat air dari BPSDA WSCC yang akan melaporkan jumlah air yang telah diambil. Selanjutnya DPKAD UPT Serpong berdasarkan hasil pencatattan tersebut akan menetapkan Surat Ketetapan pajak Daerah (SKPD) yang harus dibayarkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah terbit. Berdasarkan SKPD tersebutlah perusahaan membayar pajak, dan setiap pembayaran mendapatkan bukti pembayaran yang sah berupa Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) dan Tanda Bukti Pembayaran (TBP) di Loket DPKAD UPT. Serpong.
Demikianlah urutan-urutan proses yang harus dilalui, hal ini bukan karena birokrasi yang berbelit namun untuk menjaga kelangsungai air yang menjadi hajat hidup orang banyak, dengan pengetahuan ini diharapkan para calon Wajib pajak Air dapat memahami dan melaksanakan kewajibannya dengan baik.














BAB III PAJAK ROKOK
A.    Pengertian
Pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah pusat. Cukai rokok di Indonesia dipungut berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.
Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang Cukai.
Tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang – barang yang diimpor misalnya, suatu negara mengenakan tarif 25 % atas nilai atau harga dari setiap unit mobil yang diimpor.

B.     Subjek Pajak
Subjek Pajak rokok adalah konsumen rokok.

C.    Wajib Pajak
1.      Wajib pajak adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai.
2.      Wajib pajak dapat diwakili oleh pihak tertentu yang diperkenankan oleh undang-undang dan Peraturan Daerah tentang Pajak Rokok,wakil wajib pajak  bertanggung jawab secara pribadi dan atau secara tanggung renteng atas pembayaran pajak terutang.
3.      Wajib pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.

D.    Objek Pajak
Objek pajak rokok adalah konsumsi rokok.
Yang dimaksud dengan rokok meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun.
1.      Sigaret adalah hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara dilinting,untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
2.      Cerutu adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
3.      Rokok daun adalah hasil tembakau yang dibuat dengan daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan cara dilinting, untuk dipakai tanpa mengindahkan bahan pengganti.

E.     Bukan Objek Pajak
Bukan Objek Pajak adalah rokok yang tidak dikenai cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
Pada Pasal 26 ayat 2 ditentukan bahwa cukai juga tidak dipungut atas barang kena cukai (termasuk hasil tembakau) apabila:
1.      Diangkut terus atau diangkut lanjut dengan tujuan luar daerah pabean.
2.      Diekspor.
3.      Dimasukan ke dalam pabrik atau tempat penyimpanan.
4.      Digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang kena cukai.
5.      Telah musnah atau rusak sebelum dikeluarkan dari pabrik, tempat penyimpanan atau sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai.

F.     Tarif Pajak
Ini ditetapkan sebesar 10% dari cukai rokok. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pada penjelasan Pasal 29 menyatakan bahwa pada saat diberlakukannya ketentuan mengenai Pajak Rokok, pengenaan Pajak Rokok sebesar sepuluh persen dari cukai rokok diperhitungkan dalam penetapan tarif cukai nasional.
Sebagai contoh, dalam tahun 2011 penerimaan cukai nasional sebesar 100, dan diproyeksikan meningkat  10% setiap tahunnya sesuai dengan peta jalur industri rokok nasional. Tanpa adanya pengenaan Pajak Rokok oleh daerah, penerimaan cukai nasional tahun 2012 menjadi 110, kemudian menigkat menjadi 121 di tahun 2013. Pada tahun 2014, saat mulai diberlakukannya Pajak Rokok, penerimaan cukai nasional diproyeksikan sebesar 133, yang terdiri dari 121 sebagai penerimaan cukai pemerintah pusat dan 12 sebagai Pajak Rokok untuk daerah. Pola ini berlanjut untuk tahun 2015 dan seterusnya.
G.    Tata Cara Pemungutan
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP - 43/PJ./1995
TENTANG
 TARIF DAN TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, SERTA PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22  ATAS PENJUALAN HASIL PRODUKSI INDUSTRI ROKOK KRETEK DI DALAM NEGERI
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
1.      bahwa dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan rokok  kretek oleh industri rokok kretek, dipandang perlu untuk menetapkan tarif dan tata cara pemungutan, penyetoran serta pelaporannya.
2.      Bahwa oleh karena itu tarif dan tata cara pemungutan, penyetoran serta pelaporan tersebut ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Mengingat :
1.      Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994;
2.      Pasal 1 huruf c dan Pasal 2 ayat (1) huruf c Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 599/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat, dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya;
3.      Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 53/KMK.05/1994 tanggal 15 Pebruari 1994 tentang Perubahan Bunyi Paragrap 59 ayat (1) dari Keputusan Cukai Tembakau.




MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TARIF DAN TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, SERTA PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 ATAS PENJUALAN HASIL PRODUKSI INDUSTRI ROKOK KRETEK DI DALAM NEGERI.
Pasal 1
(1)        Badan usaha yang bergerak di bidang industri rokok kretek ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan rokok kretek di dalam negeri.
(2)        Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan bagi badan usaha yang bergerak di bidang industri rokok kretek yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak, sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 tersebut pada ayat (1), dengan menggunakan formulir Penunjukan Wajib Pajak sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.
(3)        Ketentuan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku lagi bagi badan usaha yang bergerak di bidang industri rokok kretek yang tergolong perusahaan hasil tembakau bernomor pengawas K.1000 sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 53/KMK.05/1994.
Pasal 2
Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 22 yang wajib dipungut oleh industri rokok kretek pada saat penjualan rokok kretek di dalam negeri adalah 0,1% dari harga bandrol, dan bersifat final.
                       

Pasal 3
(1)        Dalam melaksanakan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pemungut Pajak wajib menerbitkan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 oleh Badan Usaha Industri Rokok
            Final dalam rangkap 3 (tiga) yaitu :
            -           lembar pertama            :           untuk Wajib Pajak pembeli;
-           lembar kedua               :           untuk disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak (dilampirkan pada SPT Masa PPh Pasal 22);
            -           lembar ketiga               :           untuk arsip Pemungut Pajak.
(2)        Dalam hal penjualan rokok kretek dilakukan oleh industri rokok kretek secara kanvas kepada pembeli perseorangan yang belum mempunyai NPWP, maka NPWP pembeli pada Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 diisi "0.000.000.0. kode KPP tempat pembeli berdomisili".
Pasal 4
(1)        Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan rokok kretek yang dikembalikan (retur) setelah Masa Pajak terjadinya penjualan, dapat dikurangkan dari Pajak Penghasilan Pasal 22 terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian rokok kretek tersebut, kecuali apabila dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian, industri rokok kretek menggantinya dengan rokok kretek yang sama baik phisik maupun jumlah harganya.
(2)        Apabila terjadi pengembalian seperti tersebut pada ayat (1), pembeli wajib membuat Nota Retur dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian rangkap 3 (tiga) yaitu :
            -           lembar pertama dan lembar kedua      :           untuk Pemungut Pajak
            -           lembar ketiga                                       :           untuk arsip Wajib Pajak
                                                                                                Pembeli.

            Nota Retur sekurang-kurangnya harus mencantumkan :
            a.         Nomor dan tanggal Nota Retur
            b.         Nama, alamat dan NPWP pembeli
            c.         Nama, alamat dan NPWP industri rokok
            d.         Nomor dan tanggal Faktur pembelian rokok kretek yang dikembalikan
            e.         Macam, jenis, kwantum dan harga rokok kretek yang dikembalikan
            f.          Tanda tangan pembeli.
Pasal 5
Pemungut Pajak wajib menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dipungut selambat-lambatnya tujuh hari setelah Masa Pajak berakhir, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Final ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.
Pasal 6
Pemungut Pajak wajib menyampaikan laporan mengenai Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut dan telah disetor setiap bulan kepada Kantor Pelayanan Pajak di tempat kedudukan Pemungut Pajak, selambat-lambatnya 14 hari setelah Masa Pajak berakhir, dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 22 yang dilampiri lembar kedua Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 Final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), lembar ketiga Surat Setoran Pajak Final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dan apabila ada, lembar kedua Nota Retur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).
Pasal 7
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 1995.




H.    PAJAK ROKOK V.S CUKAI ROKOK

Konsep dan keberadaan dari pajak berganda (Double Taxation) telah menjadi debat yang signifikan sejak masa lalu. Secara sederhana, pengertian dari pajak berganda adalah suatu prinsip perpajakan yang mengacu pada pajak yang dibayar dua kali di sumber yang sama.
Menurut Campbell R. Harvey, Pajak Berganda adalah:
Government taxation of the same money twice; specifically, earnings taxed first at the corporate level and then again as dividends at the stockholder level
Menurut Campbell R. Harvey, Pajak Berganda adalah:
A taxation principle referring to income taxes that are paid twice on the same source of earned income.[1]
Menurut David L. Scott, pengertian Pajak Berganda adalah:
Taxation of the same income twice by the same taxing authority. It is generally used to refer to the taxation of dividends that are taxed once at the corporate level (as income before dividends are declared) and again at the personal level (when the dividends are received).[2]
Menurut Denise L. Evans, JD & O. William Evans, JD, pengertian Pajak Berganda adalah:
A situation said to exist when a corporation must pay taxes on income, make dividend payments to shareholders on after-tax dollars, and then the shareholders must again pay taxes on the dividends. This is the situation with normal corporations, called C-corporations, that do not qualify for S-corporation (small corporation) status. S-corporations file reports allocating pro rata shares of all income to the individual shareholders, who then pay taxes on that number. The corporation itself does not pay any taxes.[3]
Sedangkan, menurut Penulis pengertian Pajak Berganda adalah:
Pembebanan jenis pajak yang sama dari sumber yang sama pada dua level berbeda (pajak atas pajak), ataupun dapat terjadi ketika suatu wajib pajak dikaenakan dua jenis pajak yang berbeda pada objek yang sama.
Pajak berganda pada situasi pertama dapat terjadi jika terjadi pemungutan pajak pada beberapa level, seperti Pajak Penghasilan pada kasus pembagian dividen di tingkat perusahaan (corporate) dan pemegang saham (shareholder dividend). Sedangkan situasi kedua terjadi ketika yurisdiksi pajak tumpang-tindih dan suatu transaksi, asset, atau jumlah pendapatan tunduk kepada perpajakan di pada kedua yurisdiksi tersebut.
Pajak Rokok memiliki Dasar Pengenaan Pajak yang berbeda dengan cukai rokok, dimana Dasar Pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.[4] Sedangkan Dasar pengenaan Cukai Rokok adalah Harga Dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia adalah Harga Jual Pabrik atau Harga Jual Eceran.[5]
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajaknya. Sedangkan pada Cukai Rokok pemerintah menerapkan besarnya cukai rokok terutang dengan sistem kombinasi, yaitu menggunakan tarif spesifik dan tarif advalorum. Tarif advalorum artinya cukai dihitung sekian persen dari harga per bungkus rokok. Harga per bungkus tersebut sesuai yang tercantum pada bungkus rokok. Sedangkan tarif spesifik artinya cukai dihitung sekian persen dari harga rokok per batang. Apabila menggunakan sistem kombinasi, maka hasil perhitungan tarif advalorum dan tarif spesifikasi digabungkan.
Contoh 1
Misalkan rokok merek “X” dengan harga jual Eceran (HJE) per batang Rp 600 termasuk cukai menggunakan tarif spesifik 40% perbatang. Hitunglah Besaran Cukai Rokok dan Pajak Rokok per batang rokok?
Jawab:
HJE per batang rokok = Rp. 600
Cukai yang dibayar pengusaha per batang: 40% x Rp 600 =Rp. (240)
Pajak Rokok yang dibayar pengusaha per batang:10% x Rp. 240 = Rp. (24)
Pajak Pertambahan Nilai untuk Rokok 8,4% x Rp. 600 =Rp. (50,4)
Laba setelah pajak Rp. 285,6
Asumsikan keuntungan yang di-share kepada distributor: 5% x Rp.600 = Rp. (30)
Laba diterima Pengusaha Rokok Rp. 255,6







I.       Earmarking Pajak Rokok
Secara konsepsional alokasi penerimaan Negara dari Cukai Rokok selama ini menyimpang dari tujuannya. Cukai rokok Indonesia mengalir ke kas APBN untuk dana pembangunan, bukan untuk mengendalikan barang yang dikenai cukai, yaitu rokok. Hal ini menyimpang dari formula universal bahwa cukai adalah “pajak dosa” (sin tax), yaitu pajak atas konsumsi barang yang bersifat negatif.
Dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 lahir kebijakan untuk alokasi khusus untuk mengendalikan bahaya rokok (earmarking tax), seperti dalam pasal 31 disebutkan bahwa penerimaan Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. Melalui kebijakan ”earmarking” ini daerah dipacu untuk secara bertahap dan terus menerus melakukan perbaikan (sustainable development) kualitas pelayanan publik di daerahnya.
Penerimaan Pajak Rokok dialokasikan untuk mendanai bidang pelayanan kesehatan (pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok).
Penerimaan Pajak Rokok juga dialokasikan untuk mendanai bidang penegakan hukum terkait rokok illegal, yaitu rokok yang dalam tahap produksinya tidak terdaftar sehingga tidak membayar Cukai rokok. Dalam pelaksanaannya, pajak rokok akan ditandai dengan adanya semacam stiker atau pita cukai tambahan yang dilekatkan pada masing-masing bungkus rokok. Distributor wajib menyampaikan laporan yang berisi jumlah rokok yang akan dijual kepada pemerintah provinsi.
Rokok yang beredar di satu provinsi akan berbeda dengan provinsi lainnya, lantaran memiliki stiker atau pita cukai tambahan yang berlainan. Pengawasan peredaran rokok akan langsung dilakukan oleh pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten, maupun kota. Tugas ini bisa diserahkan kepada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang dibantu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Contoh kasus Penghitungan Earmarking atas Pajak Rokok:
Pada tahun 2014 Departemen Keuangan menargetkan penerimaan cukai tembakau dan rokok dari Provinsi Jawa Timur mencapai sebesar Rp 32 triliun. Hitunglah besar penerimaan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten Jawa Timur dari pajak rokok pada tahun 2014?
Jawab:
Besar cukai rokok = Rp. 32.000.000.000.000
Maka,Besar Pajak rokok:
DPP: 10% x Rp. 32.000.000.000.000 = Rp. 3.200.000.000.000
àPenerimaan dari Pajak Rokok
- Pemerintah Provinsi:
30% x Rp. 3.200.000.000.000 = Rp. 960.000.000.000
- Pemerintah Kabupaten/Kota:
70% x Rp. 3.200.000.000.000 = Rp. 2.240.000.000.000
àAlokasi (earmark) penerimaan pajak:
- Pemerintah Provinsi:
50% x Rp. 960.000.000.000 = Rp. 480.000.000.000
- Pemerintah Kabupaten/Kota:
50% x Rp. 2.240.000.000.000 = Rp. 1.120.000.000.000



J.      Kasus
Contoh 1
Misalkan rokok merek “X” dengan harga jual Eceran (HJE) per batang Rp 600 termasuk cukai menggunakan tarif spesifik 40% perbatang. Hitunglah Besaran Cukai Rokok dan Pajak Rokok per batang rokok?
Jawab:
HJE per batang rokok = Rp. 600
Cukai yang dibayar pengusaha per batang: 40% x Rp 600 =Rp. (240)
Pajak Rokok yang dibayar pengusaha per batang:10% x Rp. 240 = Rp. (24)
Pajak Pertambahan Nilai untuk Rokok 8,4% x Rp. 600 =Rp. (50,4)
Laba setelah pajak Rp. 285,6
Asumsikan keuntungan yang di-share kepada distributor: 5% x Rp.600 = Rp. (30)
Laba diterima Pengusaha Rokok Rp. 255,6
Contoh 2
Dengan menggunakan tarif advolrum, harga satu bungkus rokok rokok merek “Y” sebesar Rp. 10.000 dengan cukai 40%. Itu artinya nilai cukai adalah sebesar 40% x Rp 10.000 = Rp. 4.000. Kemudian pemda menambah Pajak Rokok dengan tarif 10% atas cukai. Sehingga besar pajak rokok adalah 10% x Rp 4000 = Rp. 400. Jadi, harga eceran pokok total naik menjadi Rp. 10.400.
Contoh 2
Dengan menggunakan tarif advolrum, harga satu bungkus rokok rokok merek “Y” sebesar Rp. 10.000 dengan cukai 40%. Itu artinya nilai cukai adalah sebesar 40% x Rp 10.000 = Rp. 4.000. Kemudian pemda menambah Pajak Rokok dengan tarif 10% atas cukai. Sehingga besar pajak rokok adalah 10% x Rp 4000 = Rp. 400. Jadi, harga eceran pokok total naik menjadi Rp. 10.400.




BABIV  KESIMPULAN
          Tujuan penerapan pajak air permukaan tak hanya semata-mata untuk menambah kas atau pendapatan daerah, namun juga untuk melindungi Sumber Daya Alam (SDA), dalam hal ini adalah air permukaan. Tarif yang dikenakan untuk Pajak Air Permukaan adalah 10% dari nilai perolehan air. Nilai perolehan air dihitung dengan cara mengalikan Volume air yang diambil/digunakan dengan harga dasar air.
Tujuan utama penerapan pajak rokok adalah untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya rokok. Penerapan pajak rokok sebesar 10 persen dari nilai cukai juga dimaksudkan untuk memberikan optimalisasi pelayanan pemerintah daerah dalam menjaga kesehatan masyarakat.
Pajak Rokok tidak bisa dikatakan pajak berganda atau double taxation. Dilihat dari dasar penghitungannya, Pajak Rokok berbeda dengan Cukai Rokok. Dasar pemungutan Pajak Rokok dikenakan atas besaran cukai, sedangkan dasar pemungutan cukai adalah terhadap produk rokok. Pajak berganda baru akan terjadi jika Pajak Rokok dikenakan terhadap produk rokok. Sedangkan jika dilihat dari alokasi penerimaan, terdapat perbedaan antara Pajak Rokok dan Cukai Rokok, Pajak Rokok dipungut oleh Pemerintah daerah dan sepenuhnya masuk ke kas Pemerintah daerah. Sementara cukai rokok yang diterapkan selama ini,adalah pajak yang peruntukannya untuk Pemerintah Pusat.
Melalui kebijakan ”earmarking” yang ada di dalam Pajak Rokok setiap daerah akan dipacu untuk secara bertahap dan terus menerus melakukan perbaikan dan peningkatan (sustainable development) kualitas pelayanan publik di daerahnya secara nyata. Terutama di bidang pelayanan kesehatan dan penegakan hukum terkait rokok illegal.






DAFTAR PUSTAKA
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah karangan Marihot Pahala Siahaan, S.E., M.T

Tidak ada komentar:

Posting Komentar